Bukan Untuk Apa, tapi Untuk Siapa...
"Ya ampuun. Kenapa namaku ada di jurusan Ekonomi Pembangunan? Entah jurusan apa ini? Aku kan bukan anak IPS, kemarin pun aku belajar soal-soal IPS antara ada dan tiada, bisa-bisanya aku masuk jurusan ini. Aneh..” Aku bersungut-sungut di kamar setelah melihat namaku tercantum di pengumuman SNMPTN di Berita Sore.
“Selamat ya , Mang..” Wajah Mamaku berseri-seri saat menunjuk dengan bangga nama Elkana Mario dalam koran yang sudah ditandai dengan stabilo biru. Aku hanya tersenyum getir. Rasanya aku ingin membatalkan semua ini tapi tak sanggup rasanya membatalkan senyum bangga Mamaku itu. Senyum bangganya penuh makna, seolah-olah ingin segera me-laminating lembaran Koran yang bertuliskan nama putra sulungnya ini.
“Halo, gimana kabarmu, Nak? Mantap kan? Baik-baiklah kamu bersekolah ya supaya pintar dan tercapailah cita-citamu. Gimana, kamu setuju kan?” Bapak meneleponku dengan penuh semangat dan wejangan. Ini kedua kalinya Beliau menelpon dalam sebulan ini. Aku hanya menjawab seadanya,”Iya, Pak" .
Setelah bertelepon dengan Bapak, rasanya hatiku sesak. Ingin sekali kuberlari dari semua kenyataan ini. Aku tidak tahu harus bagaimana. Ini terlalu di luar dugaanku. Aku tak pernah menduga akan berkuliah di jurusan yang tak kukenal sama sekali ini. Apa itu, Ekonomi Pembangunan??!! Tambahan khusus untuk Bapak, mungkin aku akan rajin belajar dan berprestasi, tapi sayang aku nggak punya cita-cita, Pak…
Begitulah, akhirnya aku menjalani perkuliahanku seperti sayur tanpa garam, hambar. Rasanya statis, flat. Tapi anehnya nilaiku selalu bagus. Tidak pernah sejarahnya aku mendapatkan nilai jelek dan hebatnya lagi IP-ku selama dua semester ini selalu di atas tiga. Amazing, itu karena aku hoki atau karena memang aku brilliant ya?? (hehe, narsis mode on..)
“Elmo, besok kita datang kebaktian kampus yok, Bro..” Suatu saat untuk ketiga kalinya Frank mengajakku datang kebaktian. Supaya cepat, kali ini aku mengangguk-angguk saja, mie ayam yang ada di depanku jauh lebih menyibukkanku dan membutuhkan konsentrasi. Eits, tapi tunggu dulu.. ELMO??!! Huhh, seenaknya saja dia menyingkat-nyingkat namaku. Untung aja, saat ini selera makanku jauh lebih besar ketimbang merepeti dirinya.
“Jadi, sebenarnya hidup itu harus punya tujuan, toh? Hmm, jangan-jangan aku selama ini emang benar-benar gak punya tujuan ya? Untuk apa aku kuliah? Untuk apa aku hidup? Dan seterusnya...” Aku terus merenungkan kotbah pembicara di kebaktian kampus tadi siang.
Keesokan harinya aku privat dengan Pemimpin Kelompok Kecil (PKK)-ku. Yah, sepertinya aku memang termasuk adek kelompok kecil (KK) yang nakal karena aku selalu punya segudang alasan kalau diajak KK. Dan benar saja, kali ini lagi-lagi aku tidak persiapan bahan KK. Memang JOGAL (bahasa Batak: keras, bandel). Menurutku Bang Haris ini ―itu nama PKK-ku― layak mendapatkan pin penghargaan bertuliskan ‘PKK paling sabar di seluruh dunia’, hehe.. Akhirnya kami sharing pribadi dan tidak membahas bahan PA yang seharusnya. Otomatis tanpa diminta aku menanyakan 'something' yang bercokol di pikiranku, “Bang, sebenarnya untuk apa sih kita hidup?”
Dengan tenang Bang Haris menjawabku,”Dek, bukan untuk apa, tapi untuk siapa??”
“Maksudnya, Bang??” Nah lho, aku bertanya lagi. Aku malah jadi semakin tidak mengerti.
“Kalau kita hidup untuk sesuatu maka hidup kita seperti mati, karena kita hidup untuk sesuatu alias benda mati. Nah, kalau kita hidup untuk seseorang maka hidup kita digerakkan oleh suatu tujuan, oleh seseorang yang hidup, yaitu Yesus Allah yang hidup.”
“……” Aku diam dan belum bisa memberikan argumen. Aku malah berada dalam kondisi bingung kuadrat. Mungkin kenakalan dan ego-ku sudah menebal dan dengan sukses telah menutup relung hati dan pikiranku sehingga rasa-rasanya aku jadi sulit untuk mengerti.
“Contoh sederhana, kenapa kamu kuliah di Ekonomi Pembangunan, Dek?”
“Karena kebetulan aku lulus di sini, Bang..” ucapku apa adanya.
“Dek, sebenarnya nggak ada yang namanya kebetulan. Menurut abang, pasti ada rencana Tuhan di balik semua ini. Mungkin sekarang kau belum tahu, tapi suatu saat kau akan tahu. Untuk itu dari sekarang bangunlah komunikasimu yang baik dengan Tuhan. Biarkan Dia menguasaimu dan menggerakkan hidupmu lebih luar biasa lagi, sekalipun dalam studimu, yakinlah Tuhan ingin memakaimu dan itu demi kemuliaan nama-Nya. ”
***
“TUHAN YESSUUUSSS!!!” Suaraku memanggil nama-Nya. Sekali saja, itupun segera hilang dibawa pergi angin semilir. Kudengar suaraku agak bergema. Di sini, aku berdiri seorang diri, di lantai puncak gedung pencakar langit di kotaku. Nafasku terengah-engah dan kuterdiam. Lega rasanya. Perlahan suaraku kembali ke titik normal.
Thank You, Lord. Kau yang ubahkan hidupku. Aku sadar tidak ada yang namanya kebetulan, apalagi untuk orang-orang yang mau percaya kepada-Mu. Inilah karya-Mu. Kupersembahkan hidupku hanya untuk-Mu. Yeah.. selalu untuk-Mu,” ucapku lepas.
Terus kunikmati momen ini. Terus kuberbicara pada-Nya yang tidak kelihatan namun kurasakan hadirat-Nya. Aku tak peduli. Kubiarkan tasku tergeletak di lantai, di atasnya tergolek manis selembar Surat Keputusan yang menyatakan diriku sebagai seorang pegawai baru di Bank Indonesia. Aku tenggelam bersama emosi dan alam. Cakrawala berpendar jingga merona mencerminkan perasaanku. Sunset. Langit bak lukisan rombongan keluarga burung yang berlomba-lomba pulang ke sarang sebelum matahari hilang ditelan bumi. Sebuah janji tersirat di balik tenggelamnya matahari, seolah berkata, “Tenang saja, aku akan datang lagi besok hari”.
(pernah dimuat di majalah Kingdom/fiksi/edisi Agustus 2010)
(pernah dimuat di majalah Kingdom/fiksi/edisi Agustus 2010)
Komentar
Posting Komentar