Orang ini...
Tadi aku melihat orang ini lagi di depan lift. Persis di saat pintu lift terbuka. Saat itu aku turun sendirian. Dia juga sendiri.Tak seperti biasa kami bersama teman masing-masing. Dia dengan baju hitamnya tanpa kaca mata. Aku dengan baju ungu dan kaca mataku. Sepertinya kami sempat bertatapan sekian detik persis saat pintu lift itu terbuka. Tapi sekian detik kemudian kami sama-sama memalingkan wajah. Seperti tidak kenal satu sama lain. Padahal aku tahu siapa dia. Aku hanya tidak tahu, apakah dia tahu aku?
Sebelum turun aku sempat membuka facebook sambil menunggu Kak Sabeth untuk makan bareng. Sempat berniat mengupload fotoku yang ’untouchable black’ lalu mengurungkannya karena malu. Sempat mampir di profil beberapa orang untuk sekedar melihat status update mereka. Yaa, termasuk profil orang ini. Stalking? Kebetulan.
Teleponku berdering. Akhirnya Kak Sabeth meneleponku juga setelah aku menunggunya hampir satu jam saking sibuknya dia. Kami janjian ketemu di bawah untuk makan siang bareng. Cacing-cacing di perutku udah mulai orkestra. Ini sudah hampir jam satu, euy, dan kita baru mau makan. Baiklah! Aku langsung saja meng-oke-kan teleponya. Agak buru-buru aku melangkahkan kedua kakiku menuju pintu lift dan segera memencet tombol angka 1. Dan ternyata, pintunya cukup lama terbuka, sodara-sodara. Okeh…
Hatiku tiba-tiba kacau (tapi bukan karena meletus balon hijau). Saat itu aku sedang menunggu pintu lift turun itu terbuka. Entah kenapa, dalam benakku muncul ucapan seperti ini, “Saat kau tak mendapatkan apa yang kau mau, bisa jadi kau akan mendapatkan apa yang Tuhan mau. Bukankah itu jauh lebih indah?” Saat itulah aku seperti menyerah dan mulai berserah. Bukan kemauanku Tuhan, jadilah kemauanmu, hatiku berbisik sebelum akhirnya pintu lift itu terbuka dan aku melangkahkan kakiku masuk.
Sepanjang perjalanan lift kata-kata itu masih menyita perhatianku. Pikiranku bermonolog. Aku mulai pusing dalam keheningan. Mungkin karena asam lambungku mulai naik atau angin di dalam perutku mulai berputar. Terserah. Beberapa kali lift terbuka di lantai sekian dan lantai sekian untuk sebentar menjemput siapa pun yang memencet tombol pemanggil lift turun. Aku sibuk dengan pikiranku. Lebih tepatnya sibuk dengan kata-kata tadi.
Beberapa detik kemudian, sampailah kami di lantai 1. Pintu terbuka dan tadaa… Persis di depan pintu lift kami, seseorang sedang berdiri menunggu lift untuk naik. Dia. Si orang ini. Orang yang tak kukenal dengan baik. Tapi, dia orang yang sering aku lihat secara kebetulan. Orang yang sering satu lift denganku. Orang yang aku tahu siapa dia. Hanya, aku tidak tahu apakah dia juga tahu siapa aku?
Setiap kali bertemu, masing-masing dari kami tak ada yang mau memulai menyapa atau sekedar senyum. Bahkan aku. Sekalipun aku tahu siapa dia, aku pura-pura tidak lihat. Pura-pura tidak tahu. Pura-pura tidak pernah mengenalnya. Tapi pikiranku selalu terusik setelah melihatnya. Bodoh, kan? Tak ada tegur sapa. Tak ada jabat tangan. Tak ada senyuman. Tak ada tatap hangat persahabatan. Dingin. Bungkam. Beku. Sering bertemu tapi tak bertegur. Sering berpapasan tapi tak bersapa.
Sering bertemu dengan orang ini membuatku berpikir dan bertanya-tanya. Siapa sebenarnya orang ini, Tuhan? Kenapa aku harus tahu kalau dia adalah teman dari temanku? Orang ini. Kenapa harus aku sadari dia ada di sini, pindah kerja dan satu gedung denganku di kantor ini? Orang ini. Sampai kapan harus seperti ini?
Sebelum turun aku sempat membuka facebook sambil menunggu Kak Sabeth untuk makan bareng. Sempat berniat mengupload fotoku yang ’untouchable black’ lalu mengurungkannya karena malu. Sempat mampir di profil beberapa orang untuk sekedar melihat status update mereka. Yaa, termasuk profil orang ini. Stalking? Kebetulan.
Teleponku berdering. Akhirnya Kak Sabeth meneleponku juga setelah aku menunggunya hampir satu jam saking sibuknya dia. Kami janjian ketemu di bawah untuk makan siang bareng. Cacing-cacing di perutku udah mulai orkestra. Ini sudah hampir jam satu, euy, dan kita baru mau makan. Baiklah! Aku langsung saja meng-oke-kan teleponya. Agak buru-buru aku melangkahkan kedua kakiku menuju pintu lift dan segera memencet tombol angka 1. Dan ternyata, pintunya cukup lama terbuka, sodara-sodara. Okeh…
Hatiku tiba-tiba kacau (tapi bukan karena meletus balon hijau). Saat itu aku sedang menunggu pintu lift turun itu terbuka. Entah kenapa, dalam benakku muncul ucapan seperti ini, “Saat kau tak mendapatkan apa yang kau mau, bisa jadi kau akan mendapatkan apa yang Tuhan mau. Bukankah itu jauh lebih indah?” Saat itulah aku seperti menyerah dan mulai berserah. Bukan kemauanku Tuhan, jadilah kemauanmu, hatiku berbisik sebelum akhirnya pintu lift itu terbuka dan aku melangkahkan kakiku masuk.
Sepanjang perjalanan lift kata-kata itu masih menyita perhatianku. Pikiranku bermonolog. Aku mulai pusing dalam keheningan. Mungkin karena asam lambungku mulai naik atau angin di dalam perutku mulai berputar. Terserah. Beberapa kali lift terbuka di lantai sekian dan lantai sekian untuk sebentar menjemput siapa pun yang memencet tombol pemanggil lift turun. Aku sibuk dengan pikiranku. Lebih tepatnya sibuk dengan kata-kata tadi.
Beberapa detik kemudian, sampailah kami di lantai 1. Pintu terbuka dan tadaa… Persis di depan pintu lift kami, seseorang sedang berdiri menunggu lift untuk naik. Dia. Si orang ini. Orang yang tak kukenal dengan baik. Tapi, dia orang yang sering aku lihat secara kebetulan. Orang yang sering satu lift denganku. Orang yang aku tahu siapa dia. Hanya, aku tidak tahu apakah dia juga tahu siapa aku?
Setiap kali bertemu, masing-masing dari kami tak ada yang mau memulai menyapa atau sekedar senyum. Bahkan aku. Sekalipun aku tahu siapa dia, aku pura-pura tidak lihat. Pura-pura tidak tahu. Pura-pura tidak pernah mengenalnya. Tapi pikiranku selalu terusik setelah melihatnya. Bodoh, kan? Tak ada tegur sapa. Tak ada jabat tangan. Tak ada senyuman. Tak ada tatap hangat persahabatan. Dingin. Bungkam. Beku. Sering bertemu tapi tak bertegur. Sering berpapasan tapi tak bersapa.
Sering bertemu dengan orang ini membuatku berpikir dan bertanya-tanya. Siapa sebenarnya orang ini, Tuhan? Kenapa aku harus tahu kalau dia adalah teman dari temanku? Orang ini. Kenapa harus aku sadari dia ada di sini, pindah kerja dan satu gedung denganku di kantor ini? Orang ini. Sampai kapan harus seperti ini?
Komentar
Posting Komentar