Di Rumah Lebih Baik

Udah sebulan ini aku di rumah aja karena work from home sejak diberlakukannya PPKM darurat. Sebetulnya ada rasa lega dengan adanya peraturan ini. Alarmku nggak perlu bunyi jam 4.30 pagi seperti saat work from office. Belum lagi pulangnya harus naik angkot, bertemu dengan masyarakat campuran (berkesadaran dan tidak berkesadaran) terkait hal basic kayak pakai masker dan jaga jarak. Pelik! 

Ini ceritaku saat wfo. Jam 5.30 bus kantor cusss berangkat. Otomatis semua dikerjakan seringkas mungkin. Belum lagi kalo ada insiden telat bangun, wuuussshhh... Mandi, berpakaian, menyiapkan sarapan untuk dibawa ke kantor, dll. Lupakan berlama-lama di depan lemari dan berpikir-pikir, "hari ini aku mau pakai baju apa ya?" atau berdiri di tengah dapur dan bertanya-tanya, "pagi ini aku mau siapin sarapan apa ya?" Boro-boro... Pokoknya, apa yang pertama kali dilihat, SHE CUT!! *baca SIKAT!!.

Dan jujur, bukan naturalku untuk bangun dan keluar rumah sepagi itu. Dengan separuh kesadaran dan kewarasan kubuka gembok pagar, keluar rumah, berjalan kaki di tengah remangnya subuh, berpapasan dengan kucing lewat, menyusuri rumah-rumah yang penghuninya mungkin masih di alam mimpi. Haha, drama di pagi hari. Tak ada pilihan. Ini darurat! Tetap kulakukan demi mengejar waktu, agar tidak ketinggalan bus dan bisa tiba di kantor tanpa perlu berkerumun di transportasi umum seperti KRL (sebisa mungkin dihindari selama pandemi). 

Di antara pro dan kontra adanya PPKM darurat, menurutku ini jadi cara terbaik, setidaknya bagiku saat ini, untuk bertahan dari serangan virus Covid Delta (varian baru). Meski setiap malam aku menjadi sulit tidur di mana jam 1 an aku baru bisa terlelap (Zzzz...). Entah karena energi yang tidak terlalu terkuras seperti masa work from office (wara-wiri 3 jam perjalanan pulang pergi, tua di jalan, lala lala...). Atau karena psikisku yang sedang nggak bisa tenang karena terlalu sibuk dengan 'lalu lintasnya' sendiri. 

Tapi beruntung besoknya alarmku tidak berisik di jam 4.30. Aku bisa bangun lebih lama karena masih wfh. Please, jangan sampai badanku teriak protes karena kurang istirahat. Itu penting! Btw, jadi selama ini aku kurang tidur dong setiap kali wfo? Kalau berhasil tidur jam 22.00, lumayan bisa tidur 6 jam sehari. Emang cukup? Mungkin terkesan berlebihan, tapi aku tergolong orang yang nggak bisa kurang tidur. Entah kenapa, setiap kali itu terjadi, aku jadi teler, vertigo, dkk. Untungnya dulu ada pola kerja wfh dan wfo (ganti-gantian) jadi aku bisa membayar utang tidurku saat wfh. Thank you, boss! 

Well, kita nggak pernah tau, entah kapan situasi ini akan membaik. Tak ada yang bisa mengendalikan. Bahkan ketika ada yang berkata, "semua akan kena pada waktunya, tunggu giliran aja." Tak bisa dipungkiri, virus ini memang terasa semakin mendekati lingkaran satu. Berlagak ingin 'bersahabat' dengan menjumpai teman, keluarga, tetangga, dan orang-orang yang kita kenal. 

Kalau dulu aku menonton TV dan menjadi cemas karena beritanya itu lagi, itu lagi. Akhirnya TV di rumah pensiun demi menjaga kestabilan emosi dan kewarasan. Sekarang ketika sosial media menjadi harapan dan pelarian untuk mengurangi kecemasan, tetap nggak ngaruh lhooo... Beritanya masih sama, tapi dengan orang-orang yang berbeda, kenal pula. OMG!

Entah di mana lagi ada tempat yang aman? Ke mana pun dan di mana pun (online dan offline), si Covid selalu dibahas dan disebut-sebut. Mungkin, untuk saat ini, tak ada tempat yang lebih aman dari pada di rumah sendiri. Stay safe and sound, everyone. Di rumah lebih baik. Serius.

Btw... dear bumi, cukup satu, tolong cepatlah pulih. Aku rindu mamak-bapakku, adekku, dan keluarga besar yang sudah entah berapa purnama tak bisa kutemui secara fisik karena jaga jarak yang super ekstrim. Dan aku hanya bisa menabung rasa dalam celengan rindu yang semakin memberat dan tak kutau kapan bisa kupecahkan. Haaaa.... *jadi melow kaaann :'(

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengerang dalam doa...

Bahagia

Realita