Sixteenth
Tepat enam belas bulan yang lalu dia menginjakkan kaki di gedung hijau berlantai 23 di kawasan Sudirman. Dengan malu-malu kucing bercampur jinak-jinak merpati, gadis kampung berkemeja lengan panjang dan rambut seadanya itu memperkenalkan diri di depan ratusan pasang mata di acara Town Hall selantai 20 - Finance Controler.
Perkenalkan saya Gratia Mastauly Situmorang, saya freshgraduated dari Medan, saat ini saya single and very happy... (Oh yeah?? Kabur!! Segera pake topeng sambil garuk-garuk dinding!!)
Kurang lebih begitulah kisah kaledioskop dirinya di masa lalu. Kalau diingat-ingat, ngeri-ngeri sedap juga. Berawal dari seorang yang nggak ngerti apa-apa, menjadi (emang) ngertinya apa aja sekarang?? hehe... Mulai dari yang gagu-gagu excel hingga akhirnya kadang ditanyain si bos, "Eh, kalau mau bikin ini gimana ya, dek?" haha... Itulah proses.
Pertama kali dikasih tanggung jawab cabang (proses control, reporting, dan rekonsiliasi), eleuh-eleuh, si eneng malah dikasih cabang yang rumit dan gede pisan, euy... Tergolong rumit lah untuk kemampuan anak freshgraduate. Tega sekali mereka. Tapi apa daya, gadis perantau cuma bisa menelan pil pahit semua kerjaan yang dibebankan padanya. Tidak sampai di situ saja. Setiap kali ada rekan tidak masuk kerja, sementara hari itu adalah gilirannya mengerjakan satu pekerjaan, apakah yang berikutnya terjadi? Lagi-lagi gadis itu yang kena getahnya, disuruh menggantikan dengan alasan supaya lebih lancar dan terbiasa. Setiap ada urusan urgent, dia lagi yang disuruh membereskan, misal menjurnal ini-itu. Tentu saja alasannya masih sama, supaya lebih lancar dan terbiasa. Baiklah. Mulai merasa dimanfaatkan? Hmmm...
Bulan pertama, kedua, ketiga, masa percobaan terasa seperti masa penganiayaan. Beratnya beban dirasa tak sebanding dengan kekuatan untuk menanggung. Jam lembur selalu lebih lama dari yang lain. Pulang kerja lebih lama dari yang lain. Hasil kerjaan juga lebih lambat dari yang lain. Alasannya masih belajar. Belum ketemu aja ritme kerjaanya. Ingin sekali melarikan diri ke Komisi Perlindungan Anak, ingin minta dukungan Kak Seto, tapi ternyata salah alamat. Udah ke-tua-an. Setiap hari si gadis perantau cuma bisa memasang wajah memelas di depan para senior, agar mendapat sedikit kemurahan hati untuk mengajarinya, ikhlas dan ridho. Sudahlah mengganggu konsentrasi karena bolak-balik nanya, harus ditungguin pula karena setiap menjalankan satu langkah pekerjaan dia selalu mencatat dulu di buku pusaka. Untunglah gadis imut itu punya inner beauty yang cukup kuat sehingga mereka tak kuasa menolak kehadiran dirinya, prreettt...
Hari berganti hari, isi kepala si anak perempuan Sumatera itu pun bertambah. Seiring dengan semakin banyaknya tulisan dalam memo yang selalu dia bawa setiap kali belajar tentang pekerjaan baru di kantor. Hanya bermodal ketekunan, enam belas bulan sudah, dan dia dinilai cukup cepat belajar sebagai seorang officer di Accounting and Reporting Branches. Bahkan di tahun kedua dia diberi kesempatan dalam project LBU, meski dia selalu merasa bahwa perannya itu tidak terlalu besar. Kadang melelahkan dan menjemukan. Selama enam belas bulan, limit asuransi yang dia miliki pun nyaris menyentuh plafond. Saking seringnya sakit radang tenggorokan, alergi, masuk angin, bahkan yang terakhir dan terparah gejala tifus dan sakit maag. Masih bagus itu anak dikasih Tuhan nafas kehidupan hingga tulisan blog ini diposting.
Belum genap setahun, tanpa disadari dia menjadi tempat bertanya anak-anak baru, bahkan tak jarang si atasan atau senior memanggil dia untuk sekedar bertanya atau minta bantuan. Dari segi umur sudah pasti semua lebih tua dari dirinya, ada yang sudah berkeluarga, bahkan sudah beranak, dan tentunya jauh lebih berpengalaman kerja di mana-mana. Tak ada alasan untuk tidak menjawab setiap pertanyaan anak baru. Tiada dalih untuk ogah-ogahan mengajari mereka pekerjaan baru. Dulu pun aku pernah seperti mereka, batin gadis kecil itu setiap kali ada yang datang ke mejanya. Bahkan hingga saat ini para anak baru (yang sebenarnya senior dari segi tahun kelahiran) tetap saja senang dan gemar sekali mendatangi meja gadis hitam manis itu. Apakah karena gadis kecil itu selalu ramah dan murah hati menyambut setiap tanya dan tolong mereka? Entahlah....
Dan malam hari ini, di bulan keenam belas, si gadis muda itu mulai merasa galau. Sejak dia mendudukkan pantatnya di kursi kerjanya, sudah lima orang (bulan depan akan nambah jadi enam) rekan kerja di satu timnya mengundurkan diri dan memilih tempat lain sebagai tempat mereka melanjutkan karya. Alasan apa yang membuat mereka beranjak, biarlah menjadi rahasia tiap orang. Bukan cuma itu yang menggalaukan. Dia pun mulai terusik setiap mendengar kabar teman-teman lama yang kini sudah atau sedang dalam perjalanan meraih mimpi mereka. Gadis itu mulai merasa seperti orang bodoh, seperti seorang pecundang, yang cuma bisa bermimpi tanpa berani melangkah keluar dari zona nyaman.
Apa yang sesungguhnya dia impikan, bukanlah tempat yang sekarang ini dia berada. Apa yang sebenarnya dia cita-citakan untuk berkarya, bukanlah sesuatu yang saat ini dia kerjakan. Apa yang sungguh-sungguh dia inginkan dan harapkan, bukanlah ini. Begonya lagi, dia mulai merasa seperti mengambang saja. Iya, mengambang. Berada di dalam kolam renang, tetapi tidak sedang berenang. Tak ada garis finish. Sekedar bermain-main saja. Berendam hingga kulit mengerut dan bibir membiru. Dia berada di atas air, memakai ban bebek-bebek kuning yang cuma bisa membuatnya mengambang, tapi (sayang sekali) bukan berenang....
Akankah dia berani melepaskan ban bebek-nya? Berani mencelupkan diri ke dalam kolam dan berenang-renang hingga ke garis finish?
Perkenalkan saya Gratia Mastauly Situmorang, saya freshgraduated dari Medan, saat ini saya single and very happy... (Oh yeah?? Kabur!! Segera pake topeng sambil garuk-garuk dinding!!)
Kurang lebih begitulah kisah kaledioskop dirinya di masa lalu. Kalau diingat-ingat, ngeri-ngeri sedap juga. Berawal dari seorang yang nggak ngerti apa-apa, menjadi (emang) ngertinya apa aja sekarang?? hehe... Mulai dari yang gagu-gagu excel hingga akhirnya kadang ditanyain si bos, "Eh, kalau mau bikin ini gimana ya, dek?" haha... Itulah proses.
Pertama kali dikasih tanggung jawab cabang (proses control, reporting, dan rekonsiliasi), eleuh-eleuh, si eneng malah dikasih cabang yang rumit dan gede pisan, euy... Tergolong rumit lah untuk kemampuan anak freshgraduate. Tega sekali mereka. Tapi apa daya, gadis perantau cuma bisa menelan pil pahit semua kerjaan yang dibebankan padanya. Tidak sampai di situ saja. Setiap kali ada rekan tidak masuk kerja, sementara hari itu adalah gilirannya mengerjakan satu pekerjaan, apakah yang berikutnya terjadi? Lagi-lagi gadis itu yang kena getahnya, disuruh menggantikan dengan alasan supaya lebih lancar dan terbiasa. Setiap ada urusan urgent, dia lagi yang disuruh membereskan, misal menjurnal ini-itu. Tentu saja alasannya masih sama, supaya lebih lancar dan terbiasa. Baiklah. Mulai merasa dimanfaatkan? Hmmm...
Bulan pertama, kedua, ketiga, masa percobaan terasa seperti masa penganiayaan. Beratnya beban dirasa tak sebanding dengan kekuatan untuk menanggung. Jam lembur selalu lebih lama dari yang lain. Pulang kerja lebih lama dari yang lain. Hasil kerjaan juga lebih lambat dari yang lain. Alasannya masih belajar. Belum ketemu aja ritme kerjaanya. Ingin sekali melarikan diri ke Komisi Perlindungan Anak, ingin minta dukungan Kak Seto, tapi ternyata salah alamat. Udah ke-tua-an. Setiap hari si gadis perantau cuma bisa memasang wajah memelas di depan para senior, agar mendapat sedikit kemurahan hati untuk mengajarinya, ikhlas dan ridho. Sudahlah mengganggu konsentrasi karena bolak-balik nanya, harus ditungguin pula karena setiap menjalankan satu langkah pekerjaan dia selalu mencatat dulu di buku pusaka. Untunglah gadis imut itu punya inner beauty yang cukup kuat sehingga mereka tak kuasa menolak kehadiran dirinya, prreettt...
Hari berganti hari, isi kepala si anak perempuan Sumatera itu pun bertambah. Seiring dengan semakin banyaknya tulisan dalam memo yang selalu dia bawa setiap kali belajar tentang pekerjaan baru di kantor. Hanya bermodal ketekunan, enam belas bulan sudah, dan dia dinilai cukup cepat belajar sebagai seorang officer di Accounting and Reporting Branches. Bahkan di tahun kedua dia diberi kesempatan dalam project LBU, meski dia selalu merasa bahwa perannya itu tidak terlalu besar. Kadang melelahkan dan menjemukan. Selama enam belas bulan, limit asuransi yang dia miliki pun nyaris menyentuh plafond. Saking seringnya sakit radang tenggorokan, alergi, masuk angin, bahkan yang terakhir dan terparah gejala tifus dan sakit maag. Masih bagus itu anak dikasih Tuhan nafas kehidupan hingga tulisan blog ini diposting.
Belum genap setahun, tanpa disadari dia menjadi tempat bertanya anak-anak baru, bahkan tak jarang si atasan atau senior memanggil dia untuk sekedar bertanya atau minta bantuan. Dari segi umur sudah pasti semua lebih tua dari dirinya, ada yang sudah berkeluarga, bahkan sudah beranak, dan tentunya jauh lebih berpengalaman kerja di mana-mana. Tak ada alasan untuk tidak menjawab setiap pertanyaan anak baru. Tiada dalih untuk ogah-ogahan mengajari mereka pekerjaan baru. Dulu pun aku pernah seperti mereka, batin gadis kecil itu setiap kali ada yang datang ke mejanya. Bahkan hingga saat ini para anak baru (yang sebenarnya senior dari segi tahun kelahiran) tetap saja senang dan gemar sekali mendatangi meja gadis hitam manis itu. Apakah karena gadis kecil itu selalu ramah dan murah hati menyambut setiap tanya dan tolong mereka? Entahlah....
Dan malam hari ini, di bulan keenam belas, si gadis muda itu mulai merasa galau. Sejak dia mendudukkan pantatnya di kursi kerjanya, sudah lima orang (bulan depan akan nambah jadi enam) rekan kerja di satu timnya mengundurkan diri dan memilih tempat lain sebagai tempat mereka melanjutkan karya. Alasan apa yang membuat mereka beranjak, biarlah menjadi rahasia tiap orang. Bukan cuma itu yang menggalaukan. Dia pun mulai terusik setiap mendengar kabar teman-teman lama yang kini sudah atau sedang dalam perjalanan meraih mimpi mereka. Gadis itu mulai merasa seperti orang bodoh, seperti seorang pecundang, yang cuma bisa bermimpi tanpa berani melangkah keluar dari zona nyaman.
Apa yang sesungguhnya dia impikan, bukanlah tempat yang sekarang ini dia berada. Apa yang sebenarnya dia cita-citakan untuk berkarya, bukanlah sesuatu yang saat ini dia kerjakan. Apa yang sungguh-sungguh dia inginkan dan harapkan, bukanlah ini. Begonya lagi, dia mulai merasa seperti mengambang saja. Iya, mengambang. Berada di dalam kolam renang, tetapi tidak sedang berenang. Tak ada garis finish. Sekedar bermain-main saja. Berendam hingga kulit mengerut dan bibir membiru. Dia berada di atas air, memakai ban bebek-bebek kuning yang cuma bisa membuatnya mengambang, tapi (sayang sekali) bukan berenang....
Akankah dia berani melepaskan ban bebek-nya? Berani mencelupkan diri ke dalam kolam dan berenang-renang hingga ke garis finish?
Komentar
Posting Komentar